Asal-usul Pertumbuhan dan
Perkembangannya
Daulah Bani Abbasiyah
diambil dari nama Al-Abbas bin Abdul Mutholib, paman Nabi Muhammad SAW.
Pendirinya ialah Abdullah As-Saffah bin Ali bin Abdullah bin Al-Abbas, atau
lebih dikenal dengan sebutan Abul Abbas As-Saffah. Daulah Bani Abbasiyah
berdiri antara tahun 132 – 656 H / 750 – 1258 M. Lima setengah abad lamanya
keluarga Abbasiyah menduduki singgasana Khilafah Islamiyah. Pusat
pemerintahannya di kota Baghdad.
Awal kekuasaan
Dinasti Bani Abbas ditandai dengan pembangkangan yang dilakukan oleh Dinasti
Umayah di Andalusia (Spanyol). Di satu sisi, Abd al-Rahman al-Dakhil bergelar
amir (jabatan kepala wilayah ketika itu); sedangkan disisi yang lain, ia tidak
tunduk kepada khalifah yang ada di Baghdad. Pembangkangan Abd al-Rahman
al-Dakhil terhadap Bani Abbas mirip dengan pembangkangan yang dilakukan oleh
muawiyah terhadap Ali Ibn Abi Thalib. Dari segi durasi, kekuasaan Dinasti Bani
Abbas termasuk lama, yaitu sekitar lima abad.
Bani Abbasiyah
mempunyai kholifah sebanyak 37 orang. Dari masa pemerintahan Abul Abbas
As-Saffah sampai Kholifah Al-Watsiq Billah agama Islam mencapai zaman keemasan
(132 – 232 H / 749 – 879 M). Dan pada masa kholifah Al-Mutawakkil sampai dengan
Al-Mu’tashim, Islam mengalami masa kemunduran dan keruntuhan akibat serangan
bangsa Mongol Tartar pimpinan Hulakho Khan pada tahun 656 H / 1258 M.[1]
Selama dinasti ini
berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan pola pemerintahan dan pola
politik itu para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas
menjadi lima periode :
1.
Periode Pertama (132 H/750 M – 232
H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
2.
Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945
M), disebut masa pengaruh Turki pertama.
3.
Periode Ketiga (334 H/945 M – 447
H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah.
Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4.
Periode Keempat (447 H/1055 M – 590
H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani sejak dalam pemerintahan khalifah
Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
5.
Periode Kelima (590 H/1194 M – 656
H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya
hanya efektif disekitar kota Baghdad.[2]
Perkembangan Politik
Pemerintahan daulah
Bani Abbasiyah merupakan kelanjutan dari pemerintahan daulah Bani Umayyah yang
telah hancur di Damaskus. Meskipun demikian, terdapat perbedaan antara
kekuasaan dinasti Bani Abbasiyah dengan kekuasaan dinasti Bani Umayyah,
diantaranya adalah :
a.
Dinasti Umayyah sangat bersifat Arab
Oriented, artinya dalam segala hal para pejabatnya berasal dari keturunan Arab
murni, begitu pula corak peradaban yang dihasilkan pada dinasti ini.
b.
Dinasti Abbasiyah, disamping bersifat
Arab murni, juga sedikit banyak telah terpengaruh dengan corak pemikiran dan
peradaban Persia, Romawi Timur, Mesir dan sebagainya
Perkembangan Peradaban Islam
Masa pemerintahan
Dinasti Abbasiyah merupakan masa kejayaan Islam dalam berbagai bidang,
khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pada zaman ini, umat
Islam telah banyak melakukan kajian kritis terhadap ilmu pengetahuan, yaitu
melalui upaya penterjemahan karya-karya terdahulu dan juga melakukan riset
tersendiri yang dilakukan oleh para ahli. Kebangkitan ilmiah pada zaman ini
terbagi di dalam tiga lapangan, yaitu : kegiatan menyusun buku-buku ilmiah,
mengatur ilmu-ilmu Islam dan penerjemahan dari bahasa asing.[3]
Setelah mencapai
kemenangan di medan perang, tokoh-tokoh tentara membukakan jalan kepada
anggota-anggota pemerintahan, keuangan, undang-undang dan berbagai ilmu
pengetahuan untuk bergiat di lapangan masing-masing. Dengan demikian munculah
pada zaman itu sekelompok penyair-penyair handalan, filosof-filosof, ahli-ahli
sejarah, ahli-ahli ilmu hisab, tokoh-tokoh agama dan pujangga-pujangga yang
memperkaya perbendaharaan bahasa Arab.[4]
Banyak ahli dalam
bidang-bidang ilmu pengetahuan, seperti; filsafat. Filosuf terkenal saat itu
antara lain adalah Al-Kindi (185-260 H/801-873 M). Abu Nasr al Faraby
(258-339 H/870-950 M), yang menghasilkan karya dalam bentuk buku berjudul Fusus
al-Hikam, Al-Mufarriqat, Ara’u ahl al-Madinah al-Fadhilah. Selain mereka,
juga ada Ibnu Sina(370-428 H/980-1037 M), Ibnu Bajjah (w. 533
H/1138 M), diantara karyanya adalah Risalatul Wada’, akhlak, kitab al-Nabat,
Risalah al-Ittishal al-‘Aql bil Ihsan, Tadbir al-Mutawahhid, kitab al-Nais,
Risalah al-Ghayah al-Insaniyah, Al-Ghazali (1059-1111 M), Ibnu Rusyd (520-595
H/1126-1196 M), dan lain-lain. Selain filsafat, juga terjadi perkembangan dan
kemajuan dalam bidang Ilmu Kalam atau Teologi. Diantara tokoh-tokohnya adalah Washil
bin Atha, Baqillani, Asyary Ghazali, Sajastani, dan lain-lain.[5]
Adapun bentuk-bentuk peradaban Islam
pada masa daulah Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut :
a.
Kota-Kota Pusat Peradaban
Di
antara kota pusat peradaban pada masa dinasti Abbasiyah adalah Baghdad dan Samarra.
Baghdad merupakan ibu kota negara kerajaan Abbasiyah yang didirikan Kholifah
Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M) pada tahun 762 M. Sejak awal berdirinya, kota
ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan. Ke kota
inilah para ahli ilmu pengetahuan datang beramai-ramai untuk belajar. Sedangkan
kota Samarra terletak di sebelah timur sungai Tigris, yang berjarak +60
km dari kota Baghdad. Di dalamnya terdapat 17 istana mungil yang menjadi contoh
seni bangunan Islam di kota-kota lain.[6]
b.
Bidang Pemerintahan
Pada
masa Abbasiyah I (750-847 M), kekuasaan kholifah sebagai kepala negara sangat
terasa sekali dan benar seorang kholifah adalah penguasa tertinggi dan mengatur
segala urusan negara. Sedang masa Abbasiyah II 847-946 M) kekuasaan kholifah
sedikit menurun, sebab Wazir (perdana mentri) telah mulai memiliki andil dalam
urusan negara. Dan pada masa Abbasiyah III (946-1055 M) dan IV (1055-1258 M),
kholifah menjadi boneka saja, karena para gubernur di daerah-daerah telah
menempatkan diri mereka sebagai penguasa kecil yang berkuasa penuh. Dengan
demikian pemerintah pusat tidak ada apa-apanya lagi.
Dalam
pembagian wilayah (propinsi), pemerintahan Bani Abbasiyah menamakannya dengan
Imaraat, gubernurnya bergelar Amir/ Hakim. Imaraat saat itu ada tiga macam,
yaitu ; Imaraat Al-Istikhfa, Al-Amaarah Al-Khassah dan Imaarat Al-Istilau.
Kepada wilayah/imaraat ini diberi hak-hak otonomi terbatas, sedangkan desa/
al-Qura dengan kepala desanya as-Syaikh al-Qoryah diberi otonomi penuh.
Selain
itu, dinasti Abbasiyah juga telah membentuk angkatan perang yang kuat di bawah
panglima, sehingga kholifah tidak turun langsung dalam menangani tentara.
Kholifah juga membentuk Baitul Mal/ Departemen Keuangan untuk mengatur keuangan
negara khususnya. Di samping itu juga kholifah membentuk badan peradilan, guna
membantu kholifah dalam urusan hukum.[7]
c.
Bangunan Tempat Peribadatan dan
Pendidikan
Di
antara bentuk bangunan yang dijadikan sebagai lembaga pendidikan adalah
madrasah. Madrasah yang terkenal saat itu adalah Madrasah Nizamiyah, yang
didirikan di Baghdad, Isfahan, Nisabur, Basrah, Tabaristan, Hara dan Musol oleh
Nizam al-Mulk seorang perdana menteri pada tahun 456 – 486 H. selain madrasah,
terdapat juga Kuttab, sebagai lembaga pendidikan dasar dan menengah, Majlis
Muhadhoroh sebagai tempat pertemuan dan diskusi para ilmuan, serta Darul Hikmah
sebagai perpustakaan.
Di
samping itu, terdapat juga bangunan berupa tempat-tempat peribadatan, seperti
masjid. Masjid saat itu tidak hanya berfungsi sebagai tempat pelaksanaan ibadah
sholat, tetapi juga sebagai tempat pendidikan tingkat tinggi dan takhassus. Di
antara masjid-masjid tersebut adalah masjid Cordova, Ibnu Toulun, Al-Azhar dan
lain sebagainya.[8]
d.
Bidang Ilmu Pengetahuan
Ilmu
pengetahuan pada masa Daulah Bani Abbasiyah terdiri dari ilmu naqli dan ilmu
‘aqli. Ilmu naqli terdiri dari Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits Ilmu Fiqih, Ilmu Kalam,
Ilmu Tasawwuf dan Ilmu Bahasa. Adapaun ilmu ‘aqli seperti : Ilmu Kedokteran,
Ilmu Perbintangan, Ilmu Kimia, Ilmu Pasti, Logika, Filsafat dan Geografi
0 komentar:
Posting Komentar